Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), perusahaan pembuat ChatGPT, OpenAI, kini harus menghadapi pesaing baru yang datang dari China, yaitu DeepSeek. DeepSeek, yang baru-baru ini menarik perhatian dunia dengan teknologi AI terbarunya, menawarkan dua model canggih: DeepSeek-V3 dan DeepSeek-R1. Kedua model ini diklaim memiliki kinerja yang lebih efisien dibandingkan model-model AI lainnya yang sudah ada di pasar global.
DeepSeek-V3, sebagai kompetitor langsung dari GPT-4, dirancang untuk mengatasi berbagai tantangan, mulai dari pertanyaan sehari-hari hingga tugas yang lebih kompleks seperti matematika dan logika. Sedangkan DeepSeek-R1 berfokus pada efisiensi kerja, yang dikatakan dapat bersaing dengan model OpenAI’s o1.
Dalam uji benchmark yang dilakukan, DeepSeek-V3 menunjukkan performa yang mengesankan. Misalnya, pada tes pemahaman konteks DROP 3-shot F1, DeepSeek-V3 mencetak skor 91,6, mengalahkan Llama 3.1 (88,7), Claude 3.5 (88,3), dan GPT-4 (83,7). Begitu juga pada tes matematika internasional seperti AIME 2024 dan MATH-500, DeepSeek-V3 unggul jauh dibandingkan dengan para pesaingnya. Skor yang diraih DeepSeek-V3 untuk berbagai benchmark ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model AI lainnya, termasuk yang dimiliki oleh OpenAI dan Meta.
Namun, yang membuat DeepSeek semakin menarik perhatian adalah biaya pengembangannya yang jauh lebih efisien. Model AI ini hanya menghabiskan dana sekitar 6 juta dolar AS (sekitar Rp 97 miliar) dalam proses pembangunannya, yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan GPT-4 yang menelan biaya hingga 63 juta dolar AS (sekitar Rp 1 triliun). Menurut para ahli, hal ini tak lepas dari pembatasan ekspor chip canggih seperti Nvidia H100 ke China, yang memaksa perusahaan-perusahaan di negara tersebut untuk menggunakan chip dengan kinerja lebih rendah, namun tetap menghasilkan AI yang lebih efisien.
DeepSeek menggunakan metode yang disebut distillation untuk melatih model AI mereka. Metode ini memungkinkan AI untuk lebih efisien dalam mengerjakan tugas spesifik, meskipun dengan sumber daya yang terbatas. Menurut Chetan Puttagunta, peneliti dari Benchmark General Partner, pembatasan terhadap chip canggih ini justru menjadi “berkah” bagi perusahaan-perusahaan China. Dengan terbatasnya akses ke chip canggih, mereka harus berpikir kreatif untuk mengembangkan teknologi AI yang tetap hemat biaya dan memiliki performa tinggi.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Aravind Srinivas, CEO Perplexity, yang menyebutkan bahwa para perusahaan AI China mampu membuat model open-source yang efisien dan performanya tetap mumpuni meskipun dengan keterbatasan perangkat keras.
Menanggapi perkembangan ini, Satya Nadella, CEO Microsoft, juga memberikan komentar tentang potensi risiko bagi perusahaan-perusahaan AI di AS. Menurut Nadella, Amerika Serikat harus lebih waspada terhadap kecepatan dan efisiensi yang ditunjukkan oleh perusahaan AI dari China, termasuk DeepSeek.
Saat ini, DeepSeek menyediakan akses gratis ke model AI mereka melalui aplikasi Android, situs web, dan API Platform. Hal ini memungkinkan para pengembang dan pengguna di seluruh dunia untuk mengadopsi teknologi canggih ini dalam berbagai aplikasi mereka.
Dengan efisiensi biaya yang ditawarkan dan kemampuan performa yang impresif, DeepSeek berpotensi mengubah peta persaingan dunia kecerdasan buatan. Amerika Serikat, bersama perusahaan-perusahaan teknologi besar lainnya, kini harus menghadapi tantangan baru yang datang dari negara adidaya teknologi tersebut.