Tag Archives: Diffusion of Innovations

https://shopthebootrack.com

Bagian III: Perkembangan Teknologi Komunikasi dalam Teori Klasik

Kemajuan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin pesat, khususnya di Indonesia. Namun, AI sebenarnya bukanlah fenomena baru yang hanya berkembang di era digital saat ini. Perbincangan mengenai kecerdasan buatan telah dimulai sejak tahun 1950-an, ketika para ilmuwan berupaya menciptakan mesin yang mampu berpikir dan bertindak layaknya manusia.

AI di masa lalu merupakan hasil pemikiran para ahli teknologi yang bercita-cita mengembangkan sistem yang dapat meniru kecerdasan manusia. Konsep ini sejalan dengan teori Diffusion of Innovations yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers. Dalam teorinya, Rogers menjelaskan bahwa tujuan utama teknologi adalah untuk mempermudah pekerjaan manusia dan mengurangi ketidakpastian dalam mencapai hasil yang diinginkan.

Keberadaan AI semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan efisiensi dalam berbagai sektor. Salah satu contohnya adalah dunia jurnalistik. Pada tahun 2023, perhatian publik di Indonesia kembali tertuju pada AI setelah salah satu stasiun televisi swasta memperkenalkan presenter berita berbasis AI. Ini mengingatkan kembali pada perdebatan sebelumnya mengenai “jurnalisme robot,” di mana AI mulai dimanfaatkan untuk menyusun berita secara otomatis.

Selain dalam dunia media, AI juga semakin banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Chatbot seperti ChatGPT, Google Bard, dan Perplexity telah menjadi alat yang membantu berbagai aktivitas, mulai dari penerjemahan hingga penyusunan artikel akademis. Namun, kemajuan ini juga memunculkan berbagai kekhawatiran, termasuk ancaman terhadap peran manusia di dunia kerja.

Untuk memahami dampak AI lebih dalam, perspektif teori Social Construction of Technology (SCOT) dapat digunakan. SCOT menekankan bahwa perkembangan teknologi tidak hanya ditentukan oleh inovasi ilmiah, tetapi juga oleh interaksi sosial di dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, teknologi bukan sekadar produk ilmiah, tetapi juga hasil dari keputusan dan kebutuhan sosial.

Pinch dan Bijker, pencetus teori SCOT, mengungkapkan bahwa setiap teknologi melewati proses sosial sebelum diterima oleh masyarakat. Dalam konteks AI, penerimaan publik terhadap teknologi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan industri, perubahan gaya hidup, serta keberadaan kelompok sosial yang mendorong inovasi.

Meskipun AI menawarkan berbagai kemudahan, ada tantangan besar yang harus dihadapi, salah satunya adalah masalah akurasi informasi. Dengan kecepatan penyebaran informasi yang tinggi, muncul kekhawatiran bahwa AI dapat digunakan untuk menyebarkan berita yang kurang akurat atau bahkan hoaks. Selain itu, ada juga kekhawatiran mengenai dampak AI terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terutama jika teknologi ini mulai menggantikan peran manusia dalam pengambilan keputusan yang bersifat etis.

Namun, AI juga dapat menjadi solusi bagi tantangan yang ada. Teknologi ini mampu membantu menyaring dan mengolah informasi dengan lebih akurat. Dalam dunia jurnalistik, misalnya, AI dapat digunakan untuk mengecek fakta dan memastikan berita yang disajikan lebih terpercaya. Selain itu, AI juga mampu menghadirkan konten dalam berbagai format, seperti teks, gambar, dan video, yang semakin memperkaya cara penyampaian informasi.

Meskipun AI memiliki potensi besar, penting bagi manusia untuk tetap menjadi pengendali utama. Teknologi ini harus dikembangkan dengan mempertimbangkan norma, etika, dan budaya masyarakat. Dengan demikian, AI dapat menjadi alat yang mendukung kehidupan manusia tanpa mengancam nilai-nilai kemanusiaan.

Kesimpulannya, perkembangan AI harus dilihat dari berbagai perspektif, termasuk melalui teori SCOT yang menekankan interaksi sosial dalam proses inovasi teknologi. Dengan pemahaman yang tepat, AI dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kualitas hidup tanpa mengesampingkan nilai-nilai sosial dan budaya yang telah ada.