Di tengah perkembangan industri gula yang semakin modern, Pabrik Gula (PG) Rajawali Sindanglaut tetap eksis dengan mempertahankan teknologi warisan kolonial Belanda.
Salah satu ciri khas pabrik ini adalah penggunaan kereta lori yang masih beroperasi hingga saat ini untuk mengangkut tebu dari titik pengumpulan ke pusat pengolahan utama.
General Manager PG Rajawali Sindanglaut, Roni Kurniawan, menjelaskan bahwa kereta lori masih dipertahankan karena dinilai efektif dalam mengangkut ribuan batang tebu ke pabrik utama.
“Sejak era kolonial Belanda, kereta lori dirancang untuk mempermudah distribusi tebu ke pabrik. Hingga sekarang, sistem ini tetap menjadi pilihan utama,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Meskipun mempertahankan desain klasik, PG Rajawali Sindanglaut telah melakukan sejumlah peningkatan pada sistem penggeraknya.
Awalnya, kereta lori ini menggunakan tenaga uap dari pembakaran kayu, tetapi kini telah beralih ke mesin berbahan bakar minyak yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
“Perubahan ini tidak hanya membuat operasional lebih praktis, tetapi juga mengurangi dampak lingkungan,” tambah Roni.
Sebagai informasi, PG Rajawali Sindanglaut kembali beroperasi pada 2022 setelah mengalami mati suri selama tiga tahun (2019-2021). Produksi gula terus meningkat, dengan pencapaian 11 ribu ton pada 2024, naik 1.000 ton dibandingkan tahun sebelumnya.
Saat ini, pabrik mengelola lahan tebu seluas 3.500 hektare, di mana 3.100 hektare telah produktif. Manajemen berencana untuk mengoptimalkan seluruh lahan hingga 2029 guna meningkatkan efisiensi dan kapasitas produksi.
Dengan strategi jangka panjang ini, PG Rajawali Sindanglaut tidak hanya berkontribusi pada produksi gula nasional, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Keunikan pabrik ini yang menggabungkan teknologi klasik dengan inovasi modern menjadikannya salah satu pabrik gula yang tetap bertahan di tengah persaingan industri.