Artikel ini adalah bagian ketiga dari seri yang membahas perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI), khususnya di Indonesia. Fokus kali ini adalah bagaimana penerapan AI dapat dianalisis melalui teori klasik yang erat kaitannya dengan konstruksi sosial masyarakat.
AI: Bukan Teknologi Baru
Meskipun AI sering dianggap sebagai inovasi era digital, sejarahnya sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Pada masa itu, para peneliti dan teknolog bermimpi menciptakan mesin yang dapat berpikir dan bertindak secara “cerdas” layaknya manusia, seperti yang dijelaskan oleh Russell dan Norvig (2019).
AI adalah manifestasi dari apa yang disebut oleh Everett M. Rogers sebagai “tujuan teknologi.” Dalam bukunya, Diffusion of Innovations (1962), Rogers menjelaskan bahwa teknologi bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia dan mengurangi ketidakpastian dalam mencapai hasil yang diinginkan (Rogers, 2003). Pada era 1950-an, hal ini menjadi relevan karena hampir semua pekerjaan dilakukan secara manual, membutuhkan tenaga besar, keahlian khusus, dan seringkali penuh dengan ketidakpastian.
Peran AI dalam Kehidupan Modern
Saat ini, AI telah menyentuh hampir setiap aspek kehidupan manusia. Salah satu pemanfaatan AI yang paling mudah diamati adalah dalam konteks media massa. Sebagai bidang yang berpengaruh terhadap banyak orang, penerapan AI di media massa memberikan dampak yang terlihat secara sosial.
Contoh nyata muncul pada tahun 2023, ketika sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia memperkenalkan presenter berita berbasis AI dalam saluran daringnya. Langkah ini mengundang perhatian publik, seperti halnya fenomena beberapa tahun sebelumnya ketika chatbot digunakan untuk menulis berita secara otomatis. Fenomena ini memunculkan istilah “jurnalisme robot,” yang menggambarkan kemampuan AI menghasilkan berita aktual tanpa campur tangan manusia.
Kemampuan AI Masa Kini
Teknologi AI modern, seperti ChatGPT, Google Bard, dan Perplexity, telah mencapai tingkat kecerdasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan pendahulunya. Aplikasi ini mampu berfungsi sebagai penerjemah, editor, asisten akademik, bahkan teman untuk berbagi cerita. Kecepatan dan efisiensi AI dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah membuatnya semakin diterima oleh masyarakat.
Namun, penerimaan teknologi ini tidak hanya didasarkan pada keunggulan teknisnya. Untuk memahaminya, penting untuk menganalisisnya melalui teori yang menghubungkan teknologi dengan faktor sosial, seperti Social Construction of Technology (SCOT).
Mengenal Teori Konstruksi Sosial Teknologi (SCOT)
Teori Social Construction of Technology (SCOT) adalah pendekatan yang digunakan untuk memahami bagaimana teknologi dipengaruhi oleh kebutuhan dan nilai-nilai sosial. Diperkenalkan oleh Trevor J. Pinch dan Wiebe E. Bijker dalam buku The Social Construction of Technology (1987), teori ini menyoroti bahwa hasil dari teknologi tidak hanya ditentukan oleh desain teknis, tetapi juga oleh bagaimana masyarakat memahami dan memanfaatkannya.
SCOT memberikan kerangka kerja untuk menganalisis bagaimana masyarakat membentuk dan dipengaruhi oleh teknologi. Dalam konteks AI, teori ini membantu menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia semakin terbuka terhadap teknologi ini dan bagaimana penerapannya memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk media.
Kesimpulan
Perkembangan AI di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana teknologi berinteraksi dengan kebutuhan sosial. Dengan analisis melalui perspektif teori SCOT, kita dapat memahami bahwa adopsi AI tidak hanya bergantung pada kecanggihan teknologinya, tetapi juga pada bagaimana masyarakat melihat dan menggunakannya untuk mempermudah kehidupan.
Apakah Anda melihat AI sebagai solusi untuk tantangan masa depan? Mari berbagi pendapat Anda di kolom komentar!