Serangan deepfake diprediksi akan terjadi setiap lima menit pada tahun 2024, menurut laporan terbaru dari Entrust Cybersecurity Institute. Keberadaan pemalsuan dokumen digital pun mengalami lonjakan yang signifikan, yakni sebesar 244% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menambah tantangan besar bagi bisnis dan individu dalam menjaga keamanan data serta memverifikasi keaslian konten digital, terutama di kawasan Asia Tenggara.
Survei yang dilakukan oleh Deloitte menunjukkan bahwa 59% masyarakat merasa kesulitan membedakan antara konten asli dan yang dihasilkan oleh teknologi AI. Sementara itu, 84% responden yang terbiasa dengan teknologi AI menilai bahwa setiap konten yang dihasilkan oleh AI seharusnya dilabeli dengan jelas. Dengan berkembangnya kecanggihan dan volume serangan deepfake, sejumlah industri digital seperti iGaming, marketplace, fintech, crypto, dan konsultasi tercatat mengalami peningkatan paparan terhadap risiko deepfake yang cukup signifikan. Misalnya, sektor iGaming mencatatkan lonjakan risiko hingga 1520%, diikuti oleh marketplace (900%) dan fintech (533%).
Melihat ancaman yang semakin berkembang, berbagai perusahaan teknologi global mulai mengambil langkah strategis untuk menghadapi fenomena deepfake ini. Adobe, Arm, Intel, Microsoft, dan Truepic, misalnya, bersama-sama mendirikan Content Provenance and Authenticity (C2PA) untuk mengembangkan standar sertifikasi konten digital. Microsoft juga memanfaatkan teknologi AI untuk mendeteksi deepfake dengan mengimplementasikan fitur otomatis yang dapat mengaburkan wajah dalam konten yang diunggah ke platform Copilot.
Selain itu, Truepic dan Qualcomm mengembangkan teknologi enkripsi media di platform Snapdragon® 8 Gen 3 Mobile Platform untuk memastikan keaslian konten sejak awal pembuatannya. McAfee, dengan AI Snapdragon X Elite NPU, juga mengembangkan sistem yang mampu mendeteksi deepfake secara lokal, meningkatkan kecepatan deteksi dan sekaligus menjaga privasi pengguna.
AI berbasis perangkat juga menjadi solusi yang sangat efektif dalam menangkal deepfake. Marco Kamiya dari UNIDO Kantor Sub-Regional di Jakarta menegaskan pentingnya teknologi ini, yang dapat mengidentifikasi anomali seperti gerakan mata, pencahayaan, dan kejelasan gambar yang sering kali tidak terdeteksi oleh manusia. Sayangnya, meski 49% perusahaan sudah terpapar serangan deepfake audio dan video, 61% eksekutif bisnis mengaku belum memiliki protokol yang jelas untuk menangani risiko ini.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, HONOR meluncurkan solusi inovatif melalui teknologi AI Deepfake Detection, yang hadir untuk melindungi pengguna dari konten sintetis. Teknologi ini bekerja dengan menganalisis beberapa elemen penting dalam gambar dan video, seperti ketidaksempurnaan pada wajah yang dihasilkan AI, artefak komposit di tepi gambar, hingga keanehan pada posisi telinga dan rambut.
“Teknologi AI Deepfake Detection dari HONOR memberikan solusi berbasis perangkat yang secara akurat mendeteksi pemalsuan wajah dan memberikan peringatan kepada pengguna dengan cepat,” kata Justin Li, Juru Bicara HONOR. Teknologi ini dirancang untuk memberikan peringatan dini kepada pengguna apabila terdapat indikasi bahwa konten yang mereka lihat telah dimanipulasi.
HONOR juga mengintegrasikan teknologi ini dengan sistem keamanan MagicGuard di dalam HONOR MagicOS, yang menawarkan perlindungan tiga lapis pada chipset, sistem operasi, dan aplikasi. MagicGuard bertujuan untuk memberikan enkripsi berbasis perangkat keras yang melindungi data pengguna, meningkatkan privasi, dan menjamin keamanan secara menyeluruh.
Dengan prediksi pasar deteksi deepfake yang akan mencapai US$ 15,7 miliar pada 2026, teknologi seperti HONOR AI Deepfake Detection menjadi komponen vital dalam menjaga keabsahan konten digital dan keamanan pengguna di era digital yang semakin canggih ini.